Rifan Financindo
-- Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Rabu (16/1), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi seiring reli di pasar modal AS serta implementasi kesepakatan pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+
)
Dilansir dari Reuters,
Kamis (17/1), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,68 menjadi
US$61,32 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah
berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,2 menjadi
US$52,31 per barel.
Indeks pasar saham Wall Street yang menyentuh
level tertinggi dalam satu bulan terakhir telah mendongkrak harga
minyak. Sebagai catatan, harga minyak mentah berjangka terkadang
bergerak searah dengan pasar modal.
Selain itu, harga minyak
berjangka juga mendapatkan sokongan dari kesepakatan pemangkasan
pasokan oleh OPEC+, yang di dalamnya melibatkan produsen utama minyak
dunia Arab Saudi dan Rusia. Pada Desember lalu, OPEC+ sepakat untuk
memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari mulai Januari 2019.
Deputi Menteri Energi Rusia menyatakan Rusia akan mencapai target pemangkasan produksi pada April.
"Pasar
tengah konsolidasi. Untuk melihat apa penggerak pasar berikutnya, kita
akan melihat apakah kebijakan pemangkasan bekerja, apakah anggota yang
menyepakati mengikuti kesepakatan (pemangkasan) tersebut," ujar Direktur
Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian.
Kendati demikian, kenaikan produksi minyak mentah AS dapat menekan harga minyak.
Badan
Administrasi Energi AS (EIA) mencatat produksi minyak AS mencapai 11,9
juta barel per hari (bph) pada pekan lalu, seiring lonjakan ekspor
minyak mentah AS hingga hampir menyentuh level 3 juta bph.
EIA
memperkirakan produksi minyak AS tahun ini akan tumbuh hingga melampaui
level 12 juta bph. EIA juga memproyeksikan AS bakal menjadi negara net
eksportir minyak mentah pada akhir 2020.
Selain itu, stok bahan
bakar minyak (BBM) AS juga menanjak lebih dari yang diperkirakan.
Kenaikan tersebut merupakan kenaikan yang terjadi selama empat pekan
berturut-turut.
Pada pekan lalu, stok bensi naik 7,5 juta barel menjadi 255,6 juta barel, jauh di atas proyeksi jajak pendapat analis Reuters
yang memperkirakan kenaikan hanya 2,8 juta barel. Secara mingguan,
jumlah stok bensin tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari
2017.
Stok minyak distilasi, yang mencakup bahan bakar diesel dan
minyak pemanas, juga menanjak 3 juta barel. Realisasi tersebut juga di
atas ekspektasi yang memperkirakan kenaikan di atas 1,6 juta barel.
Namun, persediaan minyak mentah turun 2,7 juta barel, dua kali lipat di atas perkiraan.
"Sentimen
kenaikan harga dari penggunaan stok minyak mentah telah dikalahkan oleh
peningkatan stok produk," ujar Direktur Riset Komoditas ClipperData
Matthew Smith.
Sinyal perlambatan laju pertumbuhan ekonomi juga turun menahan kenaikan harga minyak.
Pada
Selasa (15/1) kemarin, Gedung Putih memperkirakan perekonomian AS
mendapatkan pukulan yang di atas ekspektasi dari penghentian sebagian
operasional pemerintahan.
Proyeksi perekonomian global juga
tambah suram setelah parlemen Inggris menolak proposal Perdana Menteri
Inggris Theresa May untuk meninggalkan Uni Eropa.
Tak hanya itu,
pekan ini, China juga melaporkan data perdagangan Desember yang buruk.
Pada Rabu (16/1) kemarin, bank sentral China tercatat melakukan net
injeksi moneter harian terbesar melalui operasi reverse repo.
Diharapkan, pasar minyak juga turut terjaga. (sfr/agi)