Jumat, 25 Januari 2019

Voting di Senat AS Temui Jalan Buntu, Shutdown Berlanjut | Rifan Financindo

Voting di Senat AS Temui Jalan Buntu, Shutdown Berlanjut
Foto: Demo Karyawan Federal AS. (Reuters/Carlo Barria)
Rifan Financindo - Penutupan Pemerintah (government shutdown) Amerika Serikat (AS) yang telah memasuki hari-34 dipastikan masih terus berlanjut. Ini setelah pemungutan suara di Senat AS terkait rancangan anggaran dari Partai Republik maupun Demokrat gagal meraih suara mayoritas.

AFP melaporkan pada Jumat (25/1/2019), proposal terbaru yang didukung Presiden AS Donald Trump untuk mengakhiri shutdown, yang dapat membuka kembali lembaga federal sekaligus menyediakan anggaran US$ 5,7 miliar untuk pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko, tidak mampu memperoleh minimal 60 suara yang dibutuhkan di majelis tinggi. Usulan Demokrat pun demikian. 

Para pemimpin senat dari Partai Republik maupun Partai Demokrat telah bertemu pada Kamis (24/1/2019) waktu setempat dalam upaya mengakhiri shutdown. Pemicunya adalah Gedung Putih telah mengisyaratkan mendukung RUU Pendanaan Pemerintah selama tiga pekan demi membuka perundingan keamanan perbatasan. 

Setelah pemungutan suara menemui jalan buntu, Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell dan Pemimpin Minoritas Senat Chuck Summer segera mengadakan pembicaraan untuk menghasilkan resolusi terbaru. 




Voting di Senat AS Temui Jalan Buntu, Shutdown Berlanjut
Foto: Pekerja pemerintah yang terkena dampak dari penutupan melakukan protes diam-diam terhadap penutupan sebagian pemerintah yang sedang berlangsung di Capitol Hill di Washington, Rabu, 23 Januari 2019 (AP Photo / Andrew Harnik)
 
"RUU Pendanaan Pemerintah selama tiga pekan hanya akan berjalan jika ada uang muka untuk pembangunan tembok perbatasan," ujar juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders dikutip dari AFP.

Situasi ini membuat nasib 800 ribu pekerja federal semakin tak pasti. Demonstrasi demi demonstrasi yang mereka lakukan seolah tidak didengar oleh Trump maupun para pemangku kepentingan lainnya di Kongres AS. 


Kamis, 24 Januari 2019

Yen Jepang Menguat, Tapi Tren Pendek Masih Melemah | PT Rifan Financindo

Yen Jepang Menguat, Tapi Tren Pendek Masih Melemah
Foto: Mata Uang Yen Jepang (REUTERS/Thomas White)
PT Rifan Financindo - Mata uang yen Jepang (JPY) mulai pulih dari tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang negeri sakura sempat tertekan lantaran data neraca perdagangan yang baru diumumkan menurut sebagian pengamat hasilnya di bawah ekspektasi.

Seperti dilansir Refinitiv data ekspor Jepang periode Desember 2018 diumumkan minus 3,8% YoY, lebih rendah dari konsensus yang dihimpun Refinitiv tersebut yang memperkirakan koreksi hanya sebesar 1,9% YoY.

Sementara impor hanya meningkat 1,9% selama tahun berjalan (YOY), jauh di bawah konsensus yang sebesar 3,7% YoY.

Secara teknikal, dalam jangka pendek yen Jepang masih memiliki kecenderungan melemah. Hal ini digambarkan dalam indikator teknikal rerata pergerakan konvergen dan divergen (moving average convergence divergence/ MACD), yang pada posisi death cross.

Namun demikian, tanda-tanda yen Jepang berbalik menguat mulai terlihat. Hal ini terlihat dari posisi lawannya yaitu dolar AS yang bergerak di bawah rata-rata nilainya selama lima hari (moving average/MA5) terhadap yen.
Yen Jepang Bangkit, Tanda-Tanda Penguatan Di Depan Mata
Sumber: Refinitiv
Level penghalang penguatan yen Jepang (resistance) yang paling terdekat berpotensi berada di level 108,75.

Hingga pukul 10:25 WIB, yen Jepang mulai menipiskan pelemahan dengan hanya terkoreksi 0,07% ke level 109,51. Menguatnya yen tersebut seiring dengan Kementerian Keuangan China yang menegaskan komitmennya untuk menggelontorkan stimulus fiskal pada tahun ini, termasuk pemotongan tarif pajak.

Tahun lalu, China memberikan stimulus fiskal berupa pemotongan tarif pajak dan sebagainya senilai CNY 1,3 triliun. Untuk tahun ini, besaran stimulus diperkirakan mencapai CNY 2 triliun. Jepang juga dilaporkan akan memberikan stimulus fiskal namun angkanya belum diketahui.

Dolar AS juga mendapat tekanan dari penutupan sebagian (partial shutdown) pemerintahan AS yang sudah berlangsung selama tiga puluh dua hari.

Shutdown sedikit banyak mempengaruhi perekonomian AS secara keseluruhan. Ada sekitar 800.000 abdi negara yang belum menerima bayaran, dan kontrak-kontrak swasta dengan pemerintah pun tidak berjalan. Roda ekonomi tidak berputar sesuai dengan potensinya, ada yang menghambat.

TIM RISET CNBC INDONESIA (yam/hps)


Rabu, 23 Januari 2019

Minyak Dunia Tertekan Pemangkasan Proyeksi Pertumbuhan IMF | Rifanfinancindo

Minyak Dunia Tertekan Pemangkasan Proyeksi Pertumbuhan IMF
Rifanfinancindo -- Harga minyak mentah dunia merosot hampir 3 persen pada perdagangan Selasa (22/1), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh kekhawatiran terhadap pelambatan laju pertumbuhan ekonomi global yang dapat menekan permintaan minyak mentah di tengah melesatnya produksi minyak mentah AS.

Dilansir dari Reuters, Rabu (23/1), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$1,82 atau 2,9 persen menjadi US$60,92 per barel. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,57 atau 2,9 persen menjadi US$52,23 per barel.

Pekan ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari proyeksi yang dibuat pada Oktober 2018 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Salah satu pemicunya adalah hambatan pada perdagangan internasional.

Kemudian, awal pekan ini, pemerintah China juga merilis data pertumbuhan ekonomi China tahun lalu yang hanya 6,6 persen, terendah dalam 28 tahun terakhir. Kondisi tersebut menekan harga minyak mentah karena memberikan sinyal permintaan bakal melemah. 
Terlebih, pasokan minyak mentah global juga meningkat."Banyak kekhawatiran di pasar minyak terkait melemahnya data perekonomian China," ujar Ahli Strategi Pasar Senior RJO Futures Phillip Streible.

Pada Senin (21/1) lalu, Arab Saudi merilis data ekspor minyak mentah pada November 2018 naik dari 7,7 juta barel per hari (bph) pada Oktober 2018 menjadi 8,2 juta bph. Kenaikan tersebut terjadi seiring peningkatan produksi yang menyentuh 11,1 juta bph.

Di AS, Badan Administrasi Informasi Energi AS mencatat produksi minyak mentah terkerek menjadi 11,9 juta bph. Negeri Paman Sam telah menjadi produsen minyak mentah terbesar di dunia mengungguli Rusia dan Arab Saudi.

Selama tahun lalu, pertumbuhan produksinya mencapai 2,4 juta bph. "Mereka (AS) tidak memperkirakan itu (produksi minyak mentah hampir 12 juta bph) untuk beberapa bulan," ujar Managing Member Tyche Capital Tariq Zahir di New York.

Zahir mengungkapkan jumlah rig pengeboran di AS merosot pada Jumat lalu. Namun, pasar masih menanti apakah Arab Saudi akan melaksanakan kesepakatan pemangkasan produksi bersama anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia.

Sejumlah analis mengatakan kekhawatiran pelaku pasar terhadap realisasi pemangkasan produksi OPEC juga turut menekan harga minyak dunia. Menteri Energi Rusia Alexander Novak dikabarkan tidak jadi menghadiri World Economic Forum di Davos.

Tadinya, Novak berencana untuk bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih di sela gelaran tersebut. Berdasarkan laporan Bloomberg yang dikutip Reuters, Al-Falih juga absen dalam acara tersebut.

Sebelumnya, Al-Falih sempat mengkritik lambatnya pamangkasan produksi minyak mentah yang dilakukan Rusia. Direktur Energi Berjangka Mizuho Robert Yawger menilai Rusia tidak seantusias Arab Saudi dalam memangkas produksinya.

"Ada spekulasi keduanya (Novak dan Al-Falih) tidak akan bertatap muka langsung," ujar Yawger di New York.

Sementara, survey DNV GL melaporkan 70 persen dari eksekutif senior di industri energi berencana mendongkrak atau menjaga belanja modalnya tahun lalu. Angka itu meningkat dari tahun lalu yang hanya sebesar 39 persen.

"Meski volatilitas harga minyak meningkat dalam beberapa bulan terakhir, riset kami menunjukkan sektor nampak percaya diri dengan kemampuannya untuk menghadapi ketidakstabilan pasar dan rendahnya harga minyak dan gas untuk jangka panjang," ujar Kepala Divisi Minyak dan Gas DNV Liv Holem. (sfr/agt)


Selasa, 22 Januari 2019

Pelemahan Yen Dorong Bursa Jepang ke Zona Hijau | Rifan Financindo

Pelemahan Yen Dorong Bursa Jepang ke Zona Hijau
Rifan Financindo - Bursa Jepang naik tipis pada pembukaan perdagangan, Selasa (22/1/2019), di tengah kekhawatiran terkait Brexit dan penutupan pemerintahan Amerika Serikat (AS) atau government shutdown yang masih membayangi.

Namun, pelemahan yen mampu mendorong bursa Tokyo bergerak naik.

Indeks acuan Nikkei 225 menguat tipis 0,19% dan indeks Topix bertambah 0,2% di awal perdagangan, AFP melaporkan.

Perdana Menteri Inggris Theresa May tidak mengajukan rencana cadangan atau Plan B dalam pertemuan dengan parlemen hari Senin. Ia mengatakan akan berdiskusi dengan partai Irlandia Utara DUP sebelum kembali bernegosiasi dengan Uni Eropa (UE).

Parlemen Inggris pekan lalu menolak rancangan perjanjian Brexit yang diajukan May.

May pada hari Senin juga menegaskan tidak akan keluar dari UE tanpa perjanjian (no-deal Brexit) dan tidak akan ada referendum kedua.

Pemungutan suara atas permintaan May itu akan diadakan Selasa pekan depan. (prm)

 

Senin, 21 Januari 2019

Rupiah Melemah ke Rp14.200 per Dolar AS - PT Rifan Financindo


Tunggu Data China, Rupiah Melemah ke Rp14.200 per Dolar AS
PT Rifan Financindo -- Nilai tukar rupiah pada perdagangan Senin (21/1) berada di posisi Rp14.200 per dolar Amerika Serikat (AS). Posisi ini melemah dari penutupan Jumat (18/1) di Rp14.178 per dolar AS.

Di kawasan Asia, pelemahan rupiah ditemani oleh peso Filipina sebesar 0,2 persen dan won Korea Selatan sebesar 0,35 persen. Sementara itu, yen Jepang, ringgit Malaysia, dan Dolar Singapura tercatat menguat sebesar 0,19 persen, 0,02 persen, dan 0,03 persen.Sementara mata uang utama negara maju bergerak variasi. Rubel Rusia melemah 7,12 persen, poundsterling Inggris melemah 0,09 persen, dan dolar Kanada minus 0,05 persen.

Pergerakan rupiah hari ini akan dipengaruhi dari antisipasi data Produk Domestik Bruto (PDB) China yang dirilis pada pukul 09.00 waktu setempat. Jika pertumbuhan ekonomi melambat, artinya itu bisa menjadi sentimen negatif terhadap rupiah.

Adapun, pertumbuhan ekonomi China di kuartal IV 2018 diperkirakan melambat di angka 6,4 persen. "Tentu lihat reaksi pasarnya dulu. Tapi, kalau dari rupiah masih ada kecenderungan menguat. Kalau memang menunjukkan perlambatan bisa jadi sentimen negatif juga untuk rupiah.
(glh/agt)