Senin, 13 Mei 2019

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu Juni Ini - Riffinancindo

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu Juni Ini
Rifanfinancindo Palembang - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping kemungkinan akan bertemu di sela-sela pertemuan G20 Juni mendatang di Jepang, kata penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Minggu (12/5/2019).

Ia mengatakan peluang terjadinya pertemuan itu cukup baik namun belum ada rencana konkret kapan delegasi AS dan China akan kembali melanjutkan perundingan dagang.

Negosiasi dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu berakhir Jumat pekan lalu tanpa menghasilkan perjanjian dagang. Perundingan tersebut berlangsung di tengah bayang-bayang penerapan kenaikan bea impor terhadap produk-produk China oleh pemerintahan Trump.


"Perundingan akan berlanjut," kata Kudlow, dilansir dari CNBC International. "Saya akan mengatakan ini: Ada pertemuan G20 di Jepang akhir Juni mendatang dan peluang bahwa Presiden Trump dan Presiden Xi akan bertemu di pertemuan itu cukup baik."

Trump menyebut perundingan pada Jumat lalu berlangsung konstruktif dan mengatakan negosiasi dagang akan berlanjut sembari AS tetap menerapkan bea masuknya. Namun, ia juga menyampaikan bahwa bea impor itu bisa dicabut bergantung pada situasi dan kemajuan yang terjadi di masa depan.

Kudlow dalam wawancara dengan Fox News itu memperkirakan China akan membalas langkah penerapan bea impor AS. Beijing memang telah mengancam akan meluncurkan serangan balasan pekan lalu namun sejauh ini belum melakukannya.

Kudlow juga mengatakan China telah mundur dari beberapa komitmennya yang memaksa Trump mengambil langkah menaikkan bea masuk. Ia merujuk pada pencurian hak kekayaan intelektual dan alih teknologi paksa sebagai isu-isu rumit yang belum berhasil disepakati kedua negara.

Masih Ada Harapan, Trump & Xi Jinping Akan Bertemu di Juni
Foto: Wakil Perdana Menteri China Liu He berjabat tangan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di luar kantor Perwakilan Dagang AS di Washington, AS, (9/5/2019). (REUTERS / James Lawler Duggan)
"Negosiasi telah berlangsung terlalu lama dan kami tidak dapat menerima kemunduran sikap apapun," katanya. "Kami tidak yakin China telah cukup berubah, kami akan menanti dan memperhatikan."

Pada Sabtu lalu, Trump memperingatkan China untuk segera menentukan sikapnya dalam polemik dagang ini atau menghadapi langkah yang lebih buruk di masa jabatannya yang kedua setelah pemilu 2020 mendatang.(prm)

Jumat, 10 Mei 2019

Surat Cinta Jinping untuk Trump Bikin Harga Minyak Melesat - Rifan Financindo

Surat Cinta Jinping untuk Trump Bikin Harga Minyak Melesat
Foto: Infografis/10 Kkks Utama Produksi Minyak/Edward Ricardo
Rifan Financindo Palembang - Harga minyak menguat seiring dengan optimisme damai dagang Amerika Serikat (AS)-China yang meningkat di kalangan pelaku pasar. Namun hasil dialog dagang kedua negara yang masih tak pasti menyisakan sentimen negatif yang menahan laju penguatan harga.

Pada perdagangan Jumat (10/5/2019) pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak pengiriman Juli menguat 0,94% menjadi US$ 71,05/barel, setelah naik tipis 0,01% kemarin (9/5/2019).

Bersamaan dengan itu, harga light sweet (WTI) melesat hingga 1,15% ke level US$ 62,41/barel, setelah terkoreksi 0,86% sehari sebelumnya.

Bila tetap berada di posisi itu hingga akhir sesi perdagangan, maka harga Brent dan WTI akan membukukan penguatan mingguan masing-masing sebesar 0,28% dan 0,76% secara point-to point.

Beberapa analis menduga sentimen positif yang mendorong harga minyak mulai muncul setelah Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa dirinya menerima "surat yang indah" dari Presiden China , Xi Jinping.

"Dia [Xi Jinping] baru saja menulis surat yang indah untuk saya. Saya baru saja menerimanya dan mungkin akan berbicara dengannya melalui telepon. Mari bekerja sama, mari lihat apa yang bisa kita selesaikan," ujar Trump pada hari Kamis (8/5/2019) waktu setempat, mengutip Reuters.

Kabar tersebut tentu saja membuat ketakutan pelaku pasar setidaknya bisa diredam. Masih ada peluang damai dagang benar-benar tercipta.

Sebelumnya, pada hari Minggu (5/5/2019) Trump sempat mengancam akan menaikkan bea impor produk-produk asal China yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) mulai hari Jumat (10/5/2019). Ancaman Trump pun dikonfirmasi oleh Kantor Perwakilan Dagang AS yang mengeluarkan pernyataan resmi kenaikan taris tersebut akan mulai berlaku seperti yang Trump katakan.

Pihak AS menuding China telah mangkir dari kesepakatan yang sudah dibuat. Ada beberapa poin dalam draf kesepakatan setebal 150 halaman yang secara sepihak dihapus oleh pihak China. Alhasil tensi perang dagang sempat kembali meningkat pekan ini.

Meski demikian, teka teki perang dagang belum sepenuhnya terpecahkan. Potensi batalnya kesepakatan masih tersisa.

Hari Kamis dan Jumat (9-10/5/2019) waktu setempat, Wakil Perdana Menteri China dijadwalkan kembali berdialog dengan delegasi AS di Washington.

Pelaku pasar masih menanti hasil final dari dialog tersebut. "Hasil dari dialog dagang AS-China masih tidak pasti," ujar Alfonso Esparza, analis pasar senior OANDA, mengutip Reuters.

Jika hasilnya tak sesuai harapan (damai dagang) maka sekali lagi perekonomian global akan mengalami perlambatan, bahkan lebih parah dari yang ada saat ini.

Selain itu harga minyak juga masih mendapat sokongan dari pemangkasan produksi yang dilakukan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Permintaan pun juga diramal meningkat tahun ini.

Berdasarkan data dari lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA), permintaan minyak global akan naik hingga 1,4 juta barel/hari sepanjang tahun 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)


Sumber : CNBC
 

Kamis, 09 Mei 2019

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi - PT Rifan Financindo

Disengat Panasnya Perang Dagang, Bursa Saham Asia Terkoreksi
PT Rifan Financindo Palembang - Bursa saham utama kawasan Asia kompak dibuka di zona merah pada perdagangan Kamis ini (9/5/2019): indeks Nikkei turun 0,51%, indeks Shanghai amblas 0,78%, indeks Hang Seng juga turun 0,56%, indeks Straits Times turun 0,62%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,38%.

Perang dagang AS-China yang kian panas membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Kemarin (8/5/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS secara resmi mengumumkan bahwa bea masuk terhadap produk China senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% dari 10% pada hari Jumat dini hari nanti.

Kenaikan bea masuk itu menyasar berbagai macam produk impor dari China seperti modem komputer dan router, penyedot debu, meubel, lampu, hingga bahan bangunan.

Kenaikan bea masuk tersebut akan terjadi di tengah-tengah pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dan para pejabat AS di Washington, Kamis dan Jumat waktu setempat.

Tak tinggal diam, Beijing mengancam akan membalas langkah AS tersebut.

"Pihak China sangat menyesal bahwa jika kebijakan bea impor AS dilaksanakan, China terpaksa harus mengambil langkah-langkah balasan yang diperlukan," kata Kementerian Perdagangan China di situs webnya tanpa menjelaskan lebih lanjut, dilansir dari Reuters.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa menurut beberapa sumber di pemerintahan AS dan sektor swasta, China telah mundur dari hampir seluruh aspek dalam rancangan perjanjian dagang dengan AS.

China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs. Hal inilah yang membuat pemerintahan AS meradang dan sampai memutuskan untuk menaikkan bea masuk.

Selain itu, rilis data ekonomi China yang mengecewakan masih ikut membebani kinerja bursa saham Asia.

Kemarin, ekspor China periode April diumumkan terkontraksi sebesar 2,7% secara tahunan, jauh lebih buruk dari konsensus yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 2,3%, seperti dilansir dari Trading Economics.

Jika perang dagang benar tereskalasi nantinya, tentu tekanan terhadap perekonomian China akan menjadi semakin besar. Mengingat status China sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tentunya tekanan terhadap perekonomian China akan berdampak negatif bagi perekonomian dunia. 

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/tas)

Rabu, 08 Mei 2019

Perseteruan AS-China Makin Panas, Entah Sampai Kapan - Rifanfinancindo

Perseteruan AS-China Makin Panas, Entah Sampai Kapan
REUTERS / Jonathan Ernst
Rifanfinancindo Palembang - Hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali panas setelah presiden Donald Trump mengancam akan meningkatkan tarif impor pada barang-barang China.

Padahal, beberapa pekan terakhir santer beredar kabar bahwa kedua ekonomi terbesar di dunia itu sudah hampir melahirkan kesepakatan.

Minggu kemarin, Trump mengeluarkan ancaman baru akan menaikkan bea impor terhadap produk China senilai US$200 miliar menjadi 25% dari 10% pada Jumat pekan ini.

Hal itu karena para pejabat AS merasa China dalam sepekan terakhir telah mengingkari beberapa komitmen penting yang telah dibuat dalam perundingan dagang selama berbulan-bulan belakangan.

Lalu sampai kapankah perang dagang yang telah berlangsung setahun lebih ini akan berakhir? Jawabannya, belum ada yang bisa memastikan.

Namun, beberapa pihak termasuk Pimpinan Dana Moneter Internasional (IMF) yakin bahwa ekonomi dunia akan makin melambat jika perang dagang berlanjut lebih lama. Christine Lagarde bahkan dengan tegas mengatakan China dan AS harus menyelesaikan perang dagang mereka.

"Bagi kami di IMF, sangat penting bahwa ketegangan perdagangan diselesaikan dengan cara yang memuaskan bagi semua pihak karena jelas ketegangan antara Amerika Serikat dan China adalah ancaman bagi ekonomi global," kata Lagarde, mengutip Reuters, Selasa.

Meski Trump kembali meluncurkan ancamannya, beberapa analis Wall Street tetap optimistis kesepakatan dagang akan segera terwujud dan menganggap ancaman Trump hanyalah taktik negosiasi.

Negosiasi perdagangan antara pejabat AS dan China pun masih dijadwalkan untuk dilanjutkan pada Kamis di Washington.

Kementerian Perdagangan China mengatakan Wakil Perdana Menteri Liu He masih akan memimpin delegasi perundingan dari Beijing dan akan berada di Washington selama dua hari.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang mengatakan rasa saling menghormati antara kedua belah pihak adalah dasar tercapainya perjanjian dagang.

"Kenaikan bea impor tidak dapat menyelesaikan masalah apapun," kata Geng dalam konferensi pers rutin, Selasa (7/5/2019).

"Pembicaraan adalah hal yang biasa terjadi dalam proses perundingan. Normal bagi kedua belah pihak untuk memiliki perbedaan. China tidak akan menghindari masalah dan China tulus ingin melanjutkan pembicaraan," ujarnya. (prm)


 

Selasa, 07 Mei 2019

AS Beringas, Awas China Mulai Panas! - Rifan Financindo

Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Rifan Financindo Palembang - Pasar keuangan Indonesia memulai pekan dengan kurang impresif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah melemah. Meski begitu, pelemahan ini sebenarnya masih lebih baik ketimbang yang terjadi di negara-negara tetangga.
Kemarin, IHSG berakhir dengan koreksi 0,99%. Pelemahan IHSG jauh lebih baik ketimbang Shanghai Composite (-5,58%), Hang Seng (-2,9%), atau Straits Times (3%).  

Sementara rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,28% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Saat perdagangan di pasar spot valas Indonesia berakhir, rupiah bukanlah yang terlemah di Asia karena di bawah mata uang Tanah Air ada peso Filipina, yuan China, rupee India, dan won Korea Selatan. 

Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,9 basis poin (bps). Kenaikan yield menunjukkan harga instrumen ini sedang turun karena tertekan aksi jual.  

Mencari selamat. Itu adalah tema besar di pasar keuangan Benua Kuning kemarin. Maklum, memang sedang ada risiko besar yang mengintai perekonomian dunia.
Adalah Presiden AS Donald Trump yang membuat pasar keuangan global gempar. Dalam cuitannya di Twitter, eks taipan properti itu mengungkapkan bahwa AS tetap akan menaikkan bea masuk bagi importasi produk-produk made in China. Selain itu, produk yang belum dikenakan bea masuk nantinya akan mulai disasar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Kepanikan pun terjadi. Reaksinya knee-jerk saja, melepas aset-aset berisiko di negara berkembang Asia (termasuk Indonesia) untuk berlindung ke aset aman seperti dolar AS dan yen Jepang.
Sampai akhir pekan lalu, harapan damai dagang AS-China masih begitu terbuka. Bahkan delegasi China masih melakukan dialog dengan perwakilan AS di Washington.
Namun utas (thread) cuitan Trump tersebut membuat semuanya seolah buyar. AS ternyata masih galak kepada China. Sesuatu yang sangat mungkin membuat Beijing murka.
Mengutip Wall Street Journal, sumber di lingkaran dalam pemerintah China menegaskan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk membatalkan proses negosiasi dagang dengan AS. Setiap aksi menimbulkan reaksi, apa yang dilakukan Trump sudah menciptakan 'api'.
Harapan damai dagang perlahan berganti menjadi kekhawatiran dimulainya kembali perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Hal ini tentu sangat membuat investor cemas, sehingga tidak ada yang berani mengambil risiko.
Sedangkan dari dalam negeri, rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2019 tidak banyak membantu. Sepanjang Januari-Maret, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju paling lemah sejak kuartal I-2018.
Angka tersebut lumayan jauh dibandingkan ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan 5,19% sementara konsensus Reuters berada di 5,18%.
'Penonton' pun kecewa karena tidak mendapat hasil sesuai harapan. Akibatnya, IHSG dkk tidak punya dorongan untuk memperbaiki nasib.(aji/aji)


Sumber : CNBC