Rifanfinancindo Palembang - Harga minyak melesat lebih
dari 1% seiring dengan penurunan inventori minyak di Amerika Serikat
(AS). Selain itu Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC)
akhirnya telah menyepakati tanggal pertemuan untuk mendiskusikan
kelanjutan pengurangan produksi.
Pada perdagangan Kamis (20/6/2019) pukul 09:00 WIB, harga minyak brent kontrak pengiriman Agustus naik hingga 1,59% ke US$ 62,8/barel. Adapun harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli melesat hingga 1,69% menjadi US$ 54,67/barel.
US
Energy Information Administration (EIA) mengumumkan inventori minyak
mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 14 Juni 2019 berkurang hingga
3,1 juta barel dibanding pekan sebelumnya. Hal itu membuat pelaku pasar
sumringah karena sebelumnya konsensus analis memperkirakan penurunan
inventori hanya sebesar 1,1 juta barel.
Penurunan inventori di AS
akan membuat permintaan minyak mentah akan meningkat, setidaknya dlaam
jangka pendek. Namun itu juga memberi harapan bahwa permintaan minyak
masih bisa terjaga di tengah perlambatan ekonomi global seperti sekarang
ini.
Isu pelemahan permintaan memang menjadi salah satu yang
paling diperhatikan pelaku akhir-akhir ini. Pasalnya tiga lembaga yang
memantau perkembangan keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan)
pasar minyak, kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan permintaan untuk
2019. Tiga lembaga tersebut adalah EIA, OPEC, dan International Energy
Agency (IEA), yang mana masing-masing menurunkan proyeksi pertumbuhan
permintaan tahun 2019 sebesar 160.000 barel/hari, 70.000 barel/hari, dan
100.000 barel/hari.
Sentimen permintaan yang positif juga datang dari perkembangan hubungan dagang AS-China yang kian mesra.
"Saya
rasa pertemuan nanti (dengan Presiden Xi) akan berjalan dengan sangat
baik. Tim kami akan memulai pembicaraan. China ingin sebuah kesepakatan,
demikian pula AS. Namun kesepakatan itu harus menguntungkan bagi
semuanya," tutur Trump, mengutip Reuters.
Kala dua raksasa
ekonomi dunia tidak lagi saling hambat perdagangan, maka rantai pasokan
global akan kembali lancar. Permintaan energi, yang salah satunya
berasal dari minyak juga berpotensi meningkat.
Sementara itu,
OPEC akhirnya sepakat untuk bertemu pada tanggal 2 Juli 2019 di Wina,
Austria demi menentukan kelanjutan kebijakan pengurangan produksi yang
telah dilakukan sejak Januari 2019 silam.
Jauh hari sebelumnya,
pertemuan dijadwalkan pada tanggal 25-26 Juni, tetapi Rusia meminta
diundur hingga 3-4 Juli. Iran bahkan menyarankan pertemuan ditunda
hingga 10-12 Juli.
Sejauh ini OPEC telah memberi sinyal akan
terus menahan produksi di level yang rendah. Menteri Energi Arab Saudi,
Khalid al-Falih juga pernah mengatakan bahwa pihaknya akan terus
mengurangi produksi secara bertahap dan menjaga pasokan di level normal.
Jika
benar pada pertemuan nanti OPEC dan sekutunya lanjut mengurangi pasokan
hingga akhir tahun, harga minyak berpeluang untuk menguat lagi.
Dari
Timur Tengah, serangan roket telah menghantam kawasan pemukiman dan
kantor beberapa perusahaan minyak, termasuk ExxonMobil, di daerah dekat
Basra, Irak pada hari Rabu (19/6/2019). Serangan tersebut turut membuat
ketegangan yang telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir semakin
parah.
"Kelompok (yang meluncurkan roket) terdiri dari lebih dari
satu grup dan terlatih dalam hal peluncuran misil," ujar pihak keamanan
Irak, mengutip
Reuters.
Pekan lalu juga telah terjadi
penyerangan pada dua kapal tanker di perairan dekat Selat Hormuz, yang
mana beberapa negara menuding Iran sebagai pihak yang bertanggungjawab.
Namun Iran dengan segera menampik tuduhan tersebut.
Entah siapa
yang salah, tetapi konflik di Timur Tengah dapat mengancam pasokan
minyak global. Sebab, wilayah tersebut merupakan ladang minyak terbesar
di dunia. Pasokan yang semakin seret sudah tentu akan memberi dorongan
ke atas pada harga minyak.
(taa/taa)