Senin, 20 Juli 2020

Pandemi Corona Tak Kunjung Usai, Apa Kabar Harga Minyak?

FILE PHOTO: Saudi Aramco's Ras Tanura oil refinery and oil terminal in Saudi Arabia, May 21, 2018. REUTERS/Ahmed Jadallah/File Photo
Foto: File Photo: Saudi Aramco (REUTERS/Ahmed Jadallah/File Photo)
PT Rifan FinancindoHarga minyak mentah melemah pada perdagangan awal pekan ini, Senin (20/7/2020). Kenaikan infeksi virus corona (Covid-19) yang masih terus terjadi seolah tak kunjung usai menjadi pemberat harga emas hitam lantaran prospek pemulihan yang menjadi suram.

Pada 09.25 WIB harga minyak mentah untuk kontrak yang ramai diperdagangkan kompak melemah. Harga minyak mentah acuan global Brent turun 0,65% ke US$ 42,86/barel.

Pada saat yang sama, harga minyak mentah acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami koreksi sebesar 0,69% ke US$ 40,31/barel.

Sejak 17 Juli lalu, harga emas cenderung terkoreksi. Dari sisi pasokan, para eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC+ memutuskan untuk mengendurkan pemangkasan produksi lantaran ada perbaikan dari sisi permintaan.

Mulai Agustus nanti, Arab Saudi, Rusia dan koleganya akan memangkas produksi minyak sebanyak 7,7 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun dari sebelumnya pada Mei-Juli sebanyak 9,7 juta bpd.

Meskipun bakal ada kenaikan pasokan kurang lebih 2 juta bpd, tetapi secara neto kenaikannya lebih rendah dari itu, mengingat negara-negara dengan kepatuhan rendah bersedia memberikan kompensasi pemangkasan produksi lebih banyak untuk menutup kelebihan produksi pada periode sebelumnya.

Dari sisi permintaan, impor minyak Negeri Sakura bulan Juni turun 14,7% dari periode yang sama tahun lalu. Penurunan impor memang tidak sebanyak bulan lalu yang mencapai 25%.

Namun sesungguhnya kenaikan kasus infeksi Covid-19 di berbagai negara di dunia kembali membuat prospek perbaikan permintaan menjadi lebih suram. Lagipula permintaan minyak juga masih lebih rendah dari periode sebelum krisis. Saat lockdown diterapkan permintaan minyak anjlok sampai 30%.

"Dengan jumlah kasus Covid-19 harian global masih meningkat dan negara bagian AS yang masuk dalam gugus Sunbelt dengan penduduk paling padat menunjukkan sedikit keberhasilan dalam menekuk kurva (epidemi), tetapi kekhawatiran tentang kecepatan pemulihan pasca-Covid membatasi kenaikan untuk minyak," kata Stephen Innes , kepala strategi pasar global di Axicorp
Saat ini sudah ada lebih dari 14 juta orang yang terinfeksi oleh virus corona jenis baru ini. Tak kurang dari 602 ribu orang telah terenggut jiwanya akibat menderita Covid-19.

Jika kasus tak segera dapat dipulihkan, bahkan justru memicu serentetan lockdown lagi, maka permintaan minyak bisa tertekan. Tanpa intervensi OPEC+, harga minyak kembali akan terpangkas.

Untuk pekan ini sentimen yang menggerakkan harga minyak adalah rilis data perminyakan AS oleh asosiasi industri (API) maupun lembaga resmi pemerintah (EIA) pada hari Rabu waktu setempat.

Mengacu pada data API, terjadi penurunan stok minyak mentah sebanyak 8,32 juta barel pada untuk sepekan yang berakhir pada 10 Juli. Sementara data EIA menunjukkan penurunan stok sebanyak 7,49 juta barel.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Sumber : CBNC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Jumat, 17 Juli 2020

Pengusaha: Ekonomi Indonesia Ada Kesamaan dengan China

Pertemuan Jokowi dan Xi Jinping di G20 (Biro Pers Kesekretariat Presiden/Laily Rachev)
Foto: Pertemuan Jokowi dan Xi Jinping di G20 (Biro Pers Kesekretariat Presiden/Laily Rachev)
Rifan Financindo - Kalangan pelaku usaha menilai Indonesia bisa lebih aman dan terhindar dari resesi dibanding negara lainnya. Karena memiliki pasar yang kuat.

Modal itu bisa dijadikan pijakan agar ekonomi bisa tetap tumbuh di tengah kesulitan. Terutama dengan mengandalkan segmentasi dalam negeri.

"Kita ngga bisa bandingkan Indonesia dan Singapura karena Singapura negara kecil. Bergantung industri jasa dan perdagangan utamanya," kata Chairman GarudaFood Sudhamek kepada CNBC Indonesia, Kamis (16/7/2020).

"Sedangkan kita market besar dan utamanya lagi Indonesia adalah domestic based economy. Indonesia punya kekuatan sendiri untuk bangkit, ini yang harus diyakini pemerintah."

Apalagi, Indonesia bisa belajar dari negara lain yang juga memiliki karakter sama. Misalnya negara dari segi pasar jumlah penduduk.

"China juga saya liat mereka di drive oleh ekonomi dalam negeri, tetap ada harapan. Memang jika Agustus mulai re-open itu dalam arti kegiatannya. Ekonomi ngga serta merta langsung kembali normal," jelasnya.

Meski demikian, sektor yang selama ini sudah diandalkan yakni konsumsi sudah tidak bisa lagi menjadi andalan utama. Daya beli masyarakat sudah menurun.

Ia berujar satu-satunya faktor yang bisa menjadi penggerak adalah kekuatan dana dari pemerintah. Apalagi "business as usual" tak bisa dilakukan sekarang.

"Mau industri apapun, golden rules-nya katakan cash is king sangat relevan berlaku, sehingga harus kelola cashflow dengan sebaik-baiknya. Dalam situasi ngga normal seperti ini, kita ga bisa bekerja business as usual. Tiap pemain harus, kerahkan kemampuan kreativitas dan inovasi agar sikapi situasi ngga normal dengan cara baru," kata anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu. (sef/sef)

Sumber : CBNC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan 

Kamis, 16 Juli 2020

Rupiah Terkuat di Asia, Terima Kasih China!

Warga menukarkan sejumlah uang di mobil kas keliling dari sejumlah bank yang terparkir di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (13/5/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
PT Rifan - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Namun rupiah mampu menghijau di perdagangan pasar spot.

Pada Kamis (16/7/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.632. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Sementara di pasar spot, rupiah juga menguat. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.550. Rupiah menguat 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Pagi ini datang berita bahagia dari China. Biro Statistik Nasional China mengumumkan ekonomi China pada periode April-Juni 2020 tumbuh 3,2% year-on-year (YoY), lebih tinggi ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan di angka 2,5%. Jauh membaik ketimbang kuartal sebelumnya yang terkontraksi -6,8% YoY.


Kebangkitan ekonomi China menjadi angin segar bagi dunia. Dengan status sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia dan nomor satu Asia, pulihnya China tentu akan ikut mengerek negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Sementara mata uang utama Asia lainnya cenderung melemah di hadapan dolar AS. Bahkan penguatan 0,17% sudah cukup untuk membawa rupiah menjadi yang terkuat di Benua Kuning.

Akan tetapi, patut dicatat bahwa apresiasi rupiah relatif terbatas. Bahkan sejak pembukaan pasar, rupiah tidak bergerak dari posisi Rp 14.550/US$. Mata uang Asia pun mayoritas terbenam di zona merah.

Ini karena risiko yang menghantui pasar keuangan global masih tinggi. Salah satunya adalah bubungan AS-China yang memburuk.

Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa status daerah istimewa terhadap Hong Kong resmi berakhir setelah pemberlakuan UU keamanan yang lebih represif. Hong Kong kini dipandang sama saja dengan China Daratan.

"Tidak ada lagi perlakuan khusus, tidak ada lagi hak istimewa di bidang ekonomi, tidak ada lagi ekspor teknologi. Hari ini saya menandatangani aturan dan perintah untuk mendesak China bertanggung jawab atas perilaku agresif terhadap rakyat Hong Kong. Sekarang Hong Kong diperlakukan sama seperti China," ungkap Trump dalam konferensi pers, seperti diberitakan Reuters.

Beijing tentu tidak terima dengan perlakuan Washington. Dalam keterangan tertulis, Kementerian Luar Negeri China menyatakan AS harus berhenti mencampuri urusan 'rumah tangga' negara lain. Bahkan China mengancam akan balik memberlakukan sanksi bagi individu dan lembaga yang terlibat dalam penyusunan UU baru di AS tersebut.

"Isu Hong Kong adalah murni urusan dalam negeri China. Tidak ada negara asing yang punya hak untuk ikut campur," tegas keterangan resmi Kementerian Luar Negeri China.

Investor Nantikan Pengumuman Bunga Acuan
 
Sementara dari dalam negeri, pelaku pasar menantikan pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) pada pukul 14:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate turun 25 basis poin (bps) ke 4%.

"Sejauh ini, BI sudah menurunkan suku bunga acuan 75 bps sejak awal tahun. Masih di bawah The Fed (The Federal Reserve, bank sentral AS) yang memangkas sampai 150 bps. Ada ruang yang lebih dari cukup bagi BI untuk kembali menurunkan suku bunga acuan," sebut Anthony Kevin, Ekonom Mirae Asset, dalam risetnya.

Pertimbangan stabilitas eksternal kerap menjadi faktor yang membuat BI menahan diri untuk menurunkan suku bunga acuan. Sekarang, sepertinya faktor itu tidak perlu dikahwatirkan.

Stabilitas eksternal diukur dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), wabil khusus transaksi berjalan (current account) yang mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Minimal untuk neraca perdagangan barang, BI rasanya tidak perlu terlampau cemas.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2020 surplus US$ 1,2 miliar. Sepanjang kuartal II-2020, neraca perdagangan membukukan surplus yang besar, nyaris US$ 3 miliar. Lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yang positif US$ 2,59 miliar.


Oleh karena itu, sepertinya transaksi berjalan pada kuartal II-2020 akan lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya, yang defisit 1,42% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pasokan devisa ke perekonomian domestik membaik, sehingga menjadi modal bagi stabilnya nilai tukar rupiah.

Rupiah Melemah, BI Bisa Ragu Turunkan Bunga
 
Namun ini semua baru perkiraan di atas kertas. Masih ada kemungkinan BI menahan suku bunga dengan pertimbangan nilai tukar rupiah.
Ya, rupiah memang cenderung melemah akhir-akhir ini. Dalam sebulan terakhir, mata uang Tanah Air terdepresiasi 3,74% di hadapan dolar AS.

Pelemahan rupiah disebabkan oleh seretnya arus modal asing yang mengalir ke pasar keuangan domestik. Sejak awal 2020 hingga 10 Juli, BI mencatat investor asing melakukan jual bersih (net sell) Rp 148,35 triliun di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN).

Kalau suku bunga acuan turun, maka berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) jadi kurang menarik. Arus modal asing bakal semakin mampet, dan rupiah sulit menguat.

Oleh karena itu, ketidakpastian soal suku bunga acuan kian membuat pelaku pasar ragu untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Rupiah, sudah jelas, jadi melemah.

TIM RISET CNBC INDONESIA (aji/aji)
 
Sumber : CBNC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Rabu, 15 Juli 2020

Rupiah Masih Loyo, Dolar AS Mantap di Rp 14.457

Petugas Bank Mandiri menunjukan uang Dollar Amerika (USD) di kantor Cabang  Bank Mandiri, Jakarta, Senin (23/4/2018).
Foto: Grandyos Zafna
PT Rifan Financindo Berjangka - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah pagi ini ada di level Rp 14.457. Angka ini tercatat lebih tinggi 82 poin (0,5%) pada perdagangan hari ini.
Demikian dikutip dari data perdagangan Reuters, Rabu (15/7/2020). Hingga pukul 09.20 WIB, dolar AS tercatat bergerak di rentang Rp 14.457-14.525.
Jika ditarik sejak awal Juli, dolar AS terpantau cenderung menguat. Pergerakannya stabil di level Rp 14.300-14.500an.

Dari data RTI, dolar AS pagi ini ada di level Rp 14.442. Angka tersebut menguat 3 poin (0,02%) pada perdagangan hari ini.

Dibandingkan sepekan yang lalu, dolar AS tercatat menguat 0,2% terhadap rupiah. Sementara secara month to month, penguatan dolar AS terhadap rupiah mencapai 2,5%.

Selain terhadap rupiah, dolar AS pagi ini juga menguat terhadap dolar Australia, euro, dan poundsterling. Sebaliknya kalah unggul terhadap yuan China, yen Jepang, dan dolar Singapura.

Sementara rupiah sebaliknya. Meski kalah unggul terhadap rupiah, pagi ini unggul terhadap dolar Australia, yuan China, euro, dan dolar Singapura.(eds/eds)
Sumber : CBNC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan

Selasa, 14 Juli 2020

Jurus Dewa Mabuk China Lawan AS: Buang Dolar, 'Tanam' Emas

FILE PHOTO:  U.S. 100 dollar banknotes and Chinese 100 yuan banknotes are seen in this picture illustration in Beijing, China, January 21, 2016. REUTERS/Jason Lee/Illustration/File Photo
Foto: Ilustrasi Mata Uang Yuan dan Dolar AS (REUTERS/Jason Lee)
PT Rifan Financindo - Perselisihan Amerika Serikat dan China sudah terjadi menahun. Hal ini disadari betul oleh China.

Karenanya, China kini membuat gebrakan. Negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu dikabarkan berniat untuk "membuang dolar" dan lebih menekankan penggunaan mata uangnya, yuan, dalam berbagai transaksi.



Pasalnya ketegangannya dengan AS mungkin membuat aksesnya ke dolar AS menjadi terbatas di masa depan. Terbaru, keduanya tegang karena penerapan UU Keamanan Nasional di Hong Kong dan masalah sanksi Muslim Uighur.

Ini membuat China terancam mendapat "hukuman" lebih berat dari AS. Di Hong Kong misalnya, AS disebut akan menghapus
patokan (peg) dolar Hong Kong.

Apa lagi perusahaan dan pemberi pinjaman China sangat bergantung pada dolar. Negara ini memiliki hampir satu triliun dolar obligasi dan pinjaman luar negeri dan US$ 1,1 triliun utang bank milik negara.

Langkah ini tak main-main sebenarnya. China sudah mulai mengurangi kepemilikannya pada obligasi AS mulai tahun lalu.

Di 2019, China adalah pemegang asing terbesar. Tapi, berjalan di 2020, nilai kepemilikan China turun.

Pada April 2019, kepemilikan China di obligasi pemerintah AS tercatat US$ 1,11 triliun. Namun setahun kemudian, dari riset CNBC Indonesia, nilai kepemilikan China turun menjadi US$ 1,07 triliun. Artinya, dalam setahun kepemilikan China berkurang 3,61%.

Zhou Yongkun, seorang pejabat bank sentral China People's Bank of China, pekan lalu mengatakan bahwa China akan memperkenalkan perdagangan langsung antara yuan dan mata uang tambahan. Namun ia tidak menyebut mata uang apa yang akan menjadi mata uang tambahan tersebut.


Selain itu, regulator China juga dikabarkan sedang membangun Sistem Pembayaran Internasional China untuk menyelesaikan transaksi di luar platform berbasis dolar di mana AS memegang kendali.


Langkah-langkah yang lebih kuat dari China dapat mencakup melakukan pembayaran sebagian impor dengan yuan, melakukan investasi langsung di luar negeri dalam yuan dan memberikan pinjaman dalam renminbi (nama resmi mata uang itu).

Sejumlah pengamat menilai ini wajar. China mencari pengganti dolar dari ketidakpastian politik.

"Internasionalisasi Yuan berubah dari yang diinginkan menjadi hal yang sangat diperlukan bagi Beijing," kata Ding Shuang, kepala ekonom Standard Chartered Plc untuk wilayah greater China dan Asia utara ditulis Bloomberg, Senin (13/7/2020).

"China perlu mencari pengganti dolar di tengah ketidakpastian politik, jika tidak bangsa akan menghadapi risiko keuangan."

Hal senada juga diamini Fang Xinghai, seorang pejabat tinggi di regulator sekuritas China. Kemampuan untuk mempertahankan diri dari potensi decoupling akan ditingkatkan secara signifikan melalui internasionalisasi yuan.

Meski demikian, ada pula yang menyampaikan keraguan. Mengingat globalisasi yuan sebagian besar bergantung pada konvertibilitas di bawah akun modal.

"[Hal itu] belum siap dilakukan China," kata Yu.

Sebelumnya di 2019, China juga disebut gencar melakukan pembelian emas. Cadangan emas resmi negara ini mencapai 1.957,5 ton pada Oktober 2019. (sef/sef)

Sumber : CBNC Indonesia
Baca Juga :

Info Lowongan Kerja

Rifan Financindo
PT Rifan Financindo
PT Rifan