
Rifanfinancindo -- Harga minyak mentah dunia merosot hampir 3 persen pada perdagangan Selasa (22/1), waktu Amerika Serikat (AS). Pelemahan dipicu oleh kekhawatiran terhadap pelambatan laju pertumbuhan ekonomi
global yang dapat menekan permintaan minyak mentah di tengah melesatnya produksi minyak mentah AS.
Dilansir dari Reuters, Rabu (23/1), harga minyak mentah berjangka Brent turun US$1,82 atau 2,9 persen menjadi US$60,92 per barel. Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,57 atau 2,9 persen menjadi US$52,23 per barel.
Pekan
ini, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan
ekonomi 2019 dari proyeksi yang dibuat pada Oktober 2018 3,7 persen
menjadi 3,5 persen. Salah satu pemicunya adalah hambatan pada
perdagangan internasional.
Kemudian, awal pekan ini,
pemerintah China juga merilis data pertumbuhan ekonomi China tahun lalu
yang hanya 6,6 persen, terendah dalam 28 tahun terakhir. Kondisi
tersebut menekan harga minyak mentah karena memberikan sinyal permintaan
bakal melemah.
Terlebih, pasokan minyak mentah global juga meningkat."Banyak
kekhawatiran di pasar minyak terkait melemahnya data perekonomian
China," ujar Ahli Strategi Pasar Senior RJO Futures Phillip Streible.
Pada
Senin (21/1) lalu, Arab Saudi merilis data ekspor minyak mentah pada
November 2018 naik dari 7,7 juta barel per hari (bph) pada Oktober 2018
menjadi 8,2 juta bph. Kenaikan tersebut terjadi seiring peningkatan
produksi yang menyentuh 11,1 juta bph.
Di AS, Badan Administrasi
Informasi Energi AS mencatat produksi minyak mentah terkerek menjadi
11,9 juta bph. Negeri Paman Sam telah menjadi produsen minyak mentah
terbesar di dunia mengungguli Rusia dan Arab Saudi.
Selama tahun
lalu, pertumbuhan produksinya mencapai 2,4 juta bph. "Mereka (AS) tidak
memperkirakan itu (produksi minyak mentah hampir 12 juta bph) untuk
beberapa bulan," ujar Managing Member Tyche Capital Tariq Zahir di New
York.
Zahir mengungkapkan jumlah rig pengeboran di AS merosot pada Jumat
lalu. Namun, pasar masih menanti apakah Arab Saudi akan melaksanakan
kesepakatan pemangkasan produksi bersama anggota Organisasi Negara
Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia.
Sejumlah
analis mengatakan kekhawatiran pelaku pasar terhadap realisasi
pemangkasan produksi OPEC juga turut menekan harga minyak dunia. Menteri
Energi Rusia Alexander Novak dikabarkan tidak jadi menghadiri World
Economic Forum di Davos.
Tadinya, Novak berencana untuk bertemu
dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih di sela gelaran
tersebut. Berdasarkan laporan Bloomberg yang dikutip Reuters, Al-Falih
juga absen dalam acara tersebut.
Sebelumnya, Al-Falih sempat
mengkritik lambatnya pamangkasan produksi minyak mentah yang dilakukan
Rusia. Direktur Energi Berjangka Mizuho Robert Yawger menilai Rusia
tidak seantusias Arab Saudi dalam memangkas produksinya.
"Ada spekulasi keduanya (Novak dan Al-Falih) tidak akan bertatap muka langsung," ujar Yawger di New York.
Sementara,
survey DNV GL melaporkan 70 persen dari eksekutif senior di industri
energi berencana mendongkrak atau menjaga belanja modalnya tahun lalu.
Angka itu meningkat dari tahun lalu yang hanya sebesar 39 persen.
"Meski
volatilitas harga minyak meningkat dalam beberapa bulan terakhir, riset
kami menunjukkan sektor nampak percaya diri dengan kemampuannya untuk
menghadapi ketidakstabilan pasar dan rendahnya harga minyak dan gas
untuk jangka panjang," ujar Kepala Divisi Minyak dan Gas DNV Liv Holem. (sfr/agt)