Rabu, 04 Desember 2019

Suka-suka Trump! Sebut Ending Perang Dagang Jauh, Tunggu 2020

PT Rifan Financindo - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali bermanuver soal perang dagang dengan China. Kali ini, presiden kontroversial ini memupuskan harapan bahwa ketegangan perdagangannya dengan China bakal segera berakhir tahun ini.

Bahkan di hadapan wartawan, di sela-sela pertemuan negara-negara the North Atlantic Treaty Organization (NATO), ia berujar sebaiknya semua pihak menunggu setelah Pemilu Presiden AS digelar. Dengan kata lain, setelah November 2020 nanti.

"Saya lebih suka ide menunggu sampai setelah Pemilu khususnya untuk deal dengan China. Tetapi mereka ingin memuat deal itu sekarang dan kita lihat saja nanti, apakah deal itu terjadi atau tidak," ujarnya sebagaimana dikutip dari CNBC International.

Parahnya lagi, pengusaha properti ini juga menegaskan dirinya tidak memberi tenggat waktu kapan masalah perdagangan keduanya akan diakhiri. "Tidak, aku tak memiliki deadline," tegasnya lagi.

Perang dagang antara AS dan China terjadi sejak 2018. Ketegangan dua raksasa ekonomi ini sukses membuat ketidakstabilan global, bukan cuma pada pasar keuangan, tapi juga bisnis dan sentimen konsumer.

Oktober lalu, kedua negara mengadakan pertemuan tingkat tinggi di AS dan mengaku akan membuat perjanjian damai 'Fase I'. Namun, keinginan China yang meminta AS menghapus semua tarif impor yang diberlakukan, sepertinya membuat pembicaraan alot.

Jika sampai pekan kedua ini, AS dan China belum juga sepakat artinya, Washington akan kembali menaikkan barang impor dari China 15 Desember nanti. Kenaikan akan berlaku bagi sejumlah barang elektronik, mulai dari ponsel pintar hingga laptop.

Akibat perang dagang AS-China, banyak lembaga global menurunkan outlook pertumbuhan dunia di 2019. IMF memproyeksi pertumbuhan global hanya sebesar3% atau turun dari proyeksi sebelumnya di Juli 3,2%.

Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) malah lebih parah. Lembaga ini menyebutkan ekonomi hanya tumbuh 2,9% di tahun ini. 

AS-China Makin Panas karena Hong Kong
Manuver Trump ini bukan pertama kali terjadi. Pekan lalu, Trump menandatangani UU yang terkait demonstrasi Hong Kong, yang membuat China berang.

UU HAM dan Demokrasi Hong Kong tersebut memungkinkan AS mengkaji status perdagangan khusus dengan kawasan bekas koloni Inggris itu. AS akan mengirimkan perwakilan khusus tiap tahun untuk mengevaluasi apa yang terjadi di Hong Kong.

Bahkan AS bisa menjatuhkan sanksi pada badan atau individu yang dianggap "membuat kekacauan" di Hong Kong. China dan pemerintah Hong Kong menilai tindakan AS mengintervensi urusan internal negara itu.

Sebagai sanksi ke AS, China pun tak memberi izin pada kunjungan kapal perang AS dan memberi sanksi pada lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) asal negeri Paman Sam itu.

"Respon dari kelakuan yang tidak berdasar dari AS, pemerintah China telah memutuskan tidak memberi izin pada kapal perang AS untuk mendarat di Hong Kong," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hau Chunying sebagaimana dikutip dari AFP.

"Kami menemukan banyak fakta dan bukti jelas bahwa LSM itu mendukung pergerakan anti-China ... dan mendukung aktivitas separatis untuk kemerdekaan Hong Kong," kata Hua lagi.

Demo telah melanda Hong Kong sejak Juni silam. Demo awalnya dipicu oleh rencana pemerintah Hong Kong untuk menerapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi.

Perang Dagang Baru dengan Brasil, Argentina dan Prancis
Kebijakan Presiden Donald Trump yang cenderung proteksionis ternyata tak hanya berlaku bagi musuh-musuh AS saja. Tapi juga bagi sejumlah sekutunya, yang jadi teman dekat pemerintahan Trump selama ini.

Melalui unggahan di Twitternya, Trump mengatakan akan menerapkan lagi bea masuk terhadap baja dan aluminium impor dari Brasil dan Argentina. Alasannya karena kedua negara itu telah dengan sengaja mendevaluasi mata uang mereka sehingga menyebabkan petani di AS kehilangan daya saing, kata Trump.

"Brasil dan Argentina telah melakukan devaluasi besar-besaran terhadap mata uang mereka, dan hal itu tidak bagus untuk petani kita. Oleh karena itu, efektif secepatnya, saya akan menerapkan lagi bea masuk semua baja dan aluminium yang masuk ke AS dari dua negara tersebut," kata Trump melalui akun Twitternya, sebagaimana ditulis CNBC International, Senin lalu.

Sementara itu, malam di hari yang sama Trump juga mengenakan tarif hingga 100% atas barang-barang Prancis senilai US$ 2,4 miliar. Produk pertanian Prancis, seperti Anggur dan keju, masuk dalam daftar barang yang ditargetkan.

Ini adalah serangan balasan AS atas pajak layanan digital yang dikatakan Trump diskriminatif. Sebelumnya Perwakilan Dagang AS menemukan fakta bahwa Prancis memberi pajak yang tinggi pada perusahaan teknologi asal AS seperti Google, Apple Facebook dan Amazon.

Pejabat perwakilan dagang AS USTR, Robert Lighthizer juga akan melakukan hal yang sama pada Austria, Italia dan Turki. Kini penyidikan sedang dilakukan AS pada ketiga negara itu.

Tindakan Trump ini menimbulkan reaksi tersendiri bagi sekutunya ini. Seorang menteri Argentina menyebut pengenaan tarif itu tak terduga sementara Brasil mengatakan merasa bingung dengan kebijakan Trump.

Prancis dan Uni Eropa (EU) siap membalas kenaikan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat (AS).  "Proposal AS tidak bisa diterima," tulis Reuters mengutip Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire dalam wawancaranya dengan Radio Classique. "Dalam kasus sanksi terbaru AS, Uni Eropa akan siap melakukan serangan balasan."

Menteri Ekonomi Junior Prancis Agnes Pannier-Runacher mengatakan UE akan bertindak "sangar" kali ini. Bahkan Prancis tidak akan mencabut rencana pajak digital, yang jadi dasar AS menjatuhkan sanksi tarif. (sef/sef) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar